Sri Sultan Hamengkubuwono IX "MELAWAN DENGAN SIMBOL"

(Sumbangsih kekaguman pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX)

“Walaupun saya telah mengenyam pendidikan barat yg sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa”

Pada tahun 1939, sebelum pendidikannya sebagai sarjana Bidang Indologi Rijkuniversiteit Leiden berakhir, telegram Hamengkubuwono VIII memanggil. "Dorodjatun harus pulang".

Dijemput langsung oleh Sultan van Jogjakarta, Putra Mahkota ini berada dalam satu kamar di hotel Des Indes Batavia (sekarang pertokoan Duta Merlin) Dorodjatun menerima Keris Joko Piturun dan mengemban warisan tahta Kasultanan Yogyakarta.

Hamengkubuwono VIII kemudian wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di dalam Kereta Api perjalanan dari Batavia menuju Yogyakarta, namun tak terjadi seperti kebiasaan adat bahwa Putra Mahkota menggantikan Raja yang wafat sesegera mungkin.

Dorodjatun yang selama ini tinggal di Belanda, mempelajari cara hidup pemerintahan Ratu Belanda dan krisis apa yang sedang terjadi di daratan Eropa, melihat dengan jelas adanya potensi bagi bangsa ini untuk merdeka!

Sebuah penyakit bangsa yang sesegera mungkin harus disembuhkan adalah Lange Kontrak antara Gubernur Hindia Belanda mewakili Sri Baginda Ratu Belanda dengan setiap calon Sultan yang akan menduduki tahta. Setiap Lange Kontrak yang selama ini ditandatangani oleh Sultan pendahulu, selalu mencekeram dan mencekik pemerintahan Swapraja dan menguntungkan Hindia Belanda.

Dorodjatun bermain simbol! Jika Sultan tidak segera dilantik legalitas kekuasan Hindia Belanda akan merosot, segala kebijakan ditandatangani oleh Pepatih Dalem yang terbatas kewenangannya. Kesultanan adalah badan hukum sesuai Staatblad Hindia Belanda, dan bagaimana dapat melakukan kebijakan tanpa ada Subjek Hukum nya? Pepatih Dalem hanyalah penguasa transisi, dan tak dapat mengambil kebijakan dan membuat traktat untuk menjalankan pemerintahan.

Dorodjatun mengancam Hindia Belanda, tak bersedia dilantik tanpa adanya perubahan beberapa pasal dalam Lange Kontrak yang akan ditandatanganinya.

Lange Kontrak tersebut tertuang dalam Staatblad No. 47 Tahun 1941 yang ditandatangani lima bulan sejak wafatnya Hamengkubuwono VIII. Selama lima bulan Dorodjatun bermanufer politik dan mempertahankan pendiriannya untuk mengubah Lange Kontrak, dengan resiko kehilangan tahtanya. Dia yakin, Kyayi Joko Piturun di tangannya, tak ada satu kerabat Keraton pun yang berani menemui Belanda dan merebut Tahta. Selama lima bulan vacum of power diderita oleh Kasultanan dan hal ini sangat merugikan Belanda.

Akhirnya Gubernur van Yogyakarta Dr. Lucien Adam menarik diri dari perselisihan, melunak dan membuka perundingan dengan Dorodjatun dan mengakomodir beberapa pasal sesuai kehendak Calon Sultan. Perbedaan muatan politik dalam Staatblad 47/1941 tidaklah banyak berubah, bahwa Kasultanan adalah tunduk pada Ratu Belanda dan kekuasaan Gubernur masih sangat dominan. Namun Dorodjatun meletakan titik perjuangannya pada ekonomi dan penegakan kekuasaaannya sebagai Sultan.

SIMBOL PERLAWANAN DALAM LANGE KONTRAK
Berikut beberapa pasal yang menjadi karya Agung Dorodjatun dan merupakan benih perlawanan terhadap Kolonialisme Belanda :

Pasal 18
Sultan secara langsung dan pribadi akan turut serta dalam menjalankan pemerintahan atas Kesultanan dan untuk itu akan secara teratur melakukan perundingan-perundingan dengan Gubernur Yogyakarta.

Pasal 23 ayat (1)
Sultan dapat bersama-sama dengan Swapraja-Swapraja di daerah-daerah Yogyakarta dan Surakarta serta dengan masyarakat-masyarakat otonom di daerah yang berbatasan, menyelenggarakan hal-hal, kepentingan-kepentingan, lembaga-lembaga, atau pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.

Pasal 24
Sultan menetapkan peraturan-peraturan yang dianggapnya perlu demi kepentingan Kesultanan, atau yang diperlukan demi pelaksanaan peraturan-peraturan umum, sejauh dalam pelaksanaannya itu diperlukan kerja sama dari pihak Sultan.

Pasal 41 ayat (1)
Izin-izin serta konsesi-konsesi, yang penggunaannya memerlukan tersedianya tanah atau air di daerah Kesultanan, tidak akan diberikan oleh Negara sebelum mendengar pendapat Sultan mengenai itu.

Pasal 42 ayat (1)
Penyelenggraan dan pelaksanaan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertanian (apa yang dinamakan perkebunan besar) diatur oleh Negara setelah dirundingkan dengan Sultan.

Pasal 43 ayat (2)
Dalam pencarian serta penggalian yang dilakukan oleh Negara, baik sendiri maupun dengan mengadakan perjanjian untuk itu ataupun dalam bentuk suatu perusahaan campuran, maka untuk setiap peristiwa oleh Gubernur Jenderal diatur, setelah merundingkannya dengan Sultan, berapa banyak dari keuntungan yang diterima Negara akan diserahkan kepada pihak Kesultanan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Kesultanan.

Pasal 44 yang secara tidak langsung telah melawan Domein Verklaring Hindia Belanda!
Pasal 6 dari Perjanjian yang diadakan pada tanggal 1 Agustus 1812 antara Pemerintah Inggris dengan Sultan Hamengku Buwono III, begitu pula Perjanjian tertanggal 27 Juni 1904 sebagaimana diubah berdasarkan surat-surat keterangan Sultan tertanggal 25 Rabingulawal Be 1848 atau 9 Januari 1918 serta 21 Rabingulakir Wawu 1857 atau 29 Oktober 1926, dengan ini ditarik kembali.

Pasal ini mengatur tentang kembalinya Hak Kesultanan atas "tanah Mahkota" Karangasem, serta penguasaan kembali Kesultanan atas hutan di wilayahnya. Sultan dapat mengangkat polisi hutan dan mengawasi pengelolaan hutan. Kesultanan tiap tahunnya mendapat separoh dari hasil hutan, dan segala bentuk izin dan pengelolaan harus seizin Sultan.

Bahkan Dorodjatun memuat dalam perjanjian ini atas hutang Belanda yang tidak pernah dilunasi kepada para Sultan pendahulunya yang termuat dalam pasal 45 ayat (1) yaitu :
Selain apa yang ditetapkan dalam ayat (1) pasal 44, maka ganti rugi yang menjadi beban Negara berdasarkan perjanjian-perjanian dengan para pendahulu Sultan, sampai berjumlah f 489.401,36 (empat ratus delapan puluh Sembilan ribu empat ratus satu gulden dan tiga puluh enam sen) setahun, akan dibayarkan kepada pihak Kesultanan dan disetor ke Perbendaharaan Kesultanan.

Apa yang diperjuangkan oleh Dorodjatun dalam revisi pasal Staatblad 47/1941 adalah simbol perlawanan yang legal atas kolonialisme Hindia Belanda. Sejak saat itu Dorodjatun kemudian dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono IX pada 18 Maret 1940.

SIMBOL PERLAWANAN DALAM TRADISI PENOBATAN
Dalam penobatan Sultan, Dorodjatun mengucapkan kata-kata dalam bahasa belanda “Al heb ik een uitgespriken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereeste plaats Javaan "(Walau telah mengenyam pendidikan barat, toh pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa).

Semua orang tahu bahwa Dorodjatun dibesarkan dalam keluarga Belanda Murder, dan seluruh pendidikannya adalah pendidikan Belanda. Namun Dorodjatun mempertegas identitasnya sebagai manusia Jawa.

Selalu dalam setiap penobatan Sultan pendahulu, dari Bangsal Kamandungan menuju Bangsal Maguntur Tangkil (tempat Sultan dinobatkan) Gubernur van Jogjakarta selalu berjalan bersama Sultan, dan Sultan digandeng dengan tangan kiri Gubernur van Jogjakarta. Dorodjatun menolak simbol itu, Dorodjatun merubah tradisi penobatan dengan berjalan tanpa gandengan Gubernur. Hal ini adalah simbol kekuasaan mandiri Sultan yang secara sengaja Sultan wartakan pada para petinggi keraton dan pemerintahan Hindia Belanda pada penobatan tersebut.

SIMBOL PERLAWANAN DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN
Dalam Staatblad 47/1941 pada pasal 13 bahwa Pepatih Dalem (perdana menteri) adalah pejabat yang diangkat dan dilantik oleh Hindia Belanda atas pertimbangan Sultan untuk mengurus administrasi pemerintahan Kesultanan. Sultan pendahulu hanyalah merupakan simbol kekuasaan, sementara tampuk pemerintah dipegang oleh seorang Patih. Patih tidak bertanggung jawab kepada Sultan saja, namun melaporkan seluruh pertanggungjawabannya kepada Gubernur Hindia Belanda.

Dorodjatun melihat bahwa fungsi Patih kemudian dapat membahayakan Kesultanan sehingga perlu dikaji ulang. Dorodjatun melihat celah pada Pasal 13 ayat (3) yang menyatakan bahwa tugas-tugas, kewajiban-kewajiban serta wewenangnya, sejauh belum ternyata dari Surat Perjanjian ini, bilamana perlu diatur dengan peraturan-peraturan Sultan. Ketika Patih Danureja wafat, Sultan menilai bahwa wewenang mengatur tugas Patih ada padanya. Sehingga Sultan tidak mengajukan penggantian Patih kepada Gubernur Hindia Belanda, sehingga Danureja adalah patih terakhir dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta. Tugas Patih untuk pemerintahan kemudian diambil alih oleh Sultan sendiri.

Pergantian Patih terkait kematian tidak diatur dalam Surat Perjanjian, sehingga Sultan menilai bahwa celah tersebut dapat digunakan untuk menghentikan kekuasaan terselubung pemerintah Hindia Belanda yang mencampuri kekuasaan Kasultanan di tubuh pemerintahannya.

SIMBOL KECERDIKAM DALAM MASA PERANG
Dua tahun sejak menjabat sebagai Sultan, Kasultanan Yogyakarta dihadapkan pada perang Asia Timur Raya yang memporakporandakan ketatanegaraan saat itu. Jepang telah menakhlukan Belanda pada 10 Maret 1942, dan Yogyakarta diambil alih Jepang dan kemudian berstatus sebagai Kochi. Sultan menjabat sebagai Koo dalam struktur pemerintahan Jepang (sejajar dengan tingkat Zelfbestuur pada struktur kolonialisme Belanda). Sebagai Koo, Sultan wajib mendukung Jepang dalam mensukseskan perang Asia Timur Raya melawan agresi Barat.

Dorodjatun melihat propaganda Perang Asia Timur Raya bukan sebagai solusi kemerdekaan melainkan penjajahan baru. Seluruh rakyat dipaksa kerja romusa untuk memenuhi pasokan logistik dan bertempur bersama Jepang. Dorodjatun melihat penderitaan rakyat dan mencoba mencari solusi untuk itu.

Muncul gagasan pembuatan Selokan Mataram sebagai kebijakan Kasultanan yang hingga kini tercatat sebagai diplomasi Agung Sultan terhadap Jepang. Sultan menawarkan pembangunan Selokan Mataram yang membelah wilayah Yogyakarta yang nantinya akan memasok pemenuhan pengairan irigasi pertanian yang akan menghasilkan logistik beras demi mendukung Perang Asia Timur Raya.

Jepang menilai gagasan tersebut sangat brilian sehingga menyetujuinya sebagai tanda kepatuhan Sultan terhadap Jepang. Namun untuk mewujudkannya Sultan membutuhkan ribuan tenaga kerja yang akan diambil dari rakyatnya sendiri. Sultan meminta Jepang membebaskan rakyatnya dari kewajiban romusa dan membangun Selokan Mataram dibawah kepemimpinan Sultan. Jepang yang saat itu sudah kekurangan logistik menyetujui, dan bebaslah masyarakat Yogyakarta dari kewajiban Romusa yang sangat menderitakan rakyat tersebut.

SIMBOL PENGUASAAN POLITIK
Sultan melihat bahwa penjajahan Jepang tidak akan lama, dan info kekalahan Jepang terhadap sekutu telah tersebar dari ja4ingan radio. Sultan melihat adanya kekosongan penjajahan, maka pada tahun 1945 menyatakan tergabungnya Kasultanan Yogyakarta dalam perjuangan bersama Republik Indonesia. Sultan melihat kekosongan penguasa ini tidak lama, Sekutu akan segera melakukan agresi dan posisi ibukota Batavia sangat lemah.

Sultan masih memiliki kewenangan dalam Lange Kontrak bersama Hindia Belanda dan meyakini bahwa perjanjian itu masih berkekuatan hukum. Pertimbangan, jika Belanda berani menyerang Yogyakarta, perjanjian tersebut akan hapus demi hukum. Belanda akan kesusahan dalam recoveri pasca perang jika tidak lagi mendapat dukungan dari swapraja. Hal ini sangat dimanfaatkan oleh Sultan, sehingga segera mengundang Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesa untuk hijrah ke Yogyakarta.

Yogyakarta adalah sati-satunya tempat yang paling aman saat itu, Surakarta pun demikian namun umur Raja Surakarta yang masih 16 tahun tidak begitu mampu menangkap arus politik pada zaman itu. Yogyakarta mengambil alih, dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia atas suatu pemindahan ibukota Negara dari Jakarta beralih ke Yogyakarta dari tahun 1946 hingga 1949.

SIMBOL PENGHUNAAN JABATAN
Selain menjabat sebagai Sultan, Dorodjatun juga diberi gelar oleh Ratu Belanda sebagai Mayor Jenderal Tituler dalam Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda. Jabatan ini sangat dimanfaatkan oleh Siltan dalam menghadapi Agresi Militer Sekutu di Yogyakarta. Jakarta telah jatuh ke tangan Sekutu, Yogyakarta belum. Sekutu telah mengambil alih Kepatihan Kasultanan Yogyakarta dan sesegera mungkin akan menyerang Keraton Yogyakarta, karena disanalah gembong-gembong pasukan perang gerilya bersembunyi dibawah perlindungan Sultan.

Sultan mengeluarkan ultimatum pada pasukan Sekutu "jika tuan-tuan hendak memasuki gerbang Keraton, langkahi dulu mayat saya!!!". Ultimatum ini selain keluar dari titah Sultan adalah juga merupakan komando dari seorang berpangkat Mayor Jenderal.

Laksamana Muda yang hanya dua tingkat di bawah Jenderal merupakan komando tertinggi pada saat perang dimana tentara Sekutu dipimpin oleh pasukan yang tidak perpangkat setinggi itu. Komando militer itu membuat pasukan Sekutu tidak sejengkal pun berani memasuki Keraton. Pemaksaan masuk ke keraton akan mencederai hak sipil Sultan dalam perjanjian Lange Kontrak terhadap Belanda.

Sultan sangat memanfaatkan ketentuan dalam Lange Kontrak yang menyebut bahwa hanya petinggi militer setingkat Jenderal yang boleh memasuki gerbang keraton atas seizin Sultan, jika dilanggar maka dapat mrnjadikan Lange Kontrak batal demi hukum.

Belanda menghitung kerugian besar jika Lange Kontrak sampai hapus demi hukum, aset-aset Belanda di Yogyakarta yang merupakan hasil dari landasan Lange Kontrak akan hangus dan sangat menyulitkan Belanda. Jika pun mungkin, harus ada pasukan militer Sekutu yang berpangkat Jenderal atau Letnan Jenderal baru bisa mematahkan komando tersebut dan masuk ke lingkungan Keraton. Hal ini sudah sangat diperhitungkan oleh Sultan.

Sampai pada tahun 1949 disidangkannya Komisi Meja Bundar yang membicarakan masalah wilayah kekuasaan Republik Indonesia, Sabda Sultan tersebut terbukti ampuh dan Yogyakarta berdiri tegak sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.

SIMBOL TAHTA UNTUK RAKYAT.
Kecerdikan Sultan tidak berhenti, pada masa kesulitan ekonomi pemerintahan awal Republik Indonesia, Sultan telah menyumbang banyak. Dan menyebut Tahtanya adalah untuk Rakyat.

Sultan mengakhiri karirnya adalah ketika menolak tawaran jabatan Wakil Presiden untuk kedua kalinya mendampingi Suharto pada Tahun 1978. Dengan maksud menghindarkan ancaman-ancaman ideologis dari kiri (yaitu komunisme) dan kanan (yaitu Islam politik), pada 1978 pemerintah Orde Baru mengeluarkan instruksi yang mengharuskan dijadikannya Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di departemen-departemen pemerintahan, sekolah-sekolah, tempat-tempat kerja, dll., sehingga mengundang kritik dan cemoooh dari kaum intelektual. Entah apakah kembali menyampaikan perlawanan melalui simbol, Sultan menolak mendampingi Suharto pada tahun tersebut.

Dua tahun kemudian keluarlah Petisi 50. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "Ungkapan Keprihatinan" dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin dan mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.

Sejak saat itu Sultan menarik diri dari kancah politik, kembali memimpin Kasultanan Yogyakarta sebagai Sultan.

Widjojo Nitisastro, salah seorang teknokrat zaman Orba menyatakan sesuatu pada anaknya.“Ketahuilan Wida, putriku, Sultan Hamengku Buwono IX adalah ksatria mataram. Dalam mengemban tugasnya, seorang Ksatria harus tahu kapan maju, kapan mundur kalau memang prinsip-prinsipnya memang tidak bisa lagi seiring sejalan,”

SANG SIMBOL telah tiada, pada 2 Oktober 1988 menghembuskan nafas terakhirnya di Washington DC. Menggenapi pula Sabda Sultan HB VII "setelahku, tidak akan ada lagi Sultan yang wafat di dalam Keraton". Selamat jalan...

SIMBOL menjadi penanda bahwa manusia jawa, tidak selalu bersembunyi dalam kerudung kehalusannya. Manusia jawa menggemari laku batin, dan menjelaskan pada orang lain melalui tutur dan tanda. Tidak memancarkan mimik dan tingkah yang menyayat hati orang lain.

Jawa, menghaluskan budi memperkuat pekerti. Melalui diamnya, manusia Jawa bertindak melampaui perkiraan. Hanya yang memperkuat rasa... menangkap makna!

#KiatCerdikPahamSejarah
*NB : perhatikan perbedaan HB VIII dan HB IX dalam kirab, terdapat perbedaan mendasar dalam Simbol Gandengan dengan Gubernur Belanda. Dalam Tradisi penobatan, Simbol ininsangat berpengaruh dalam memaknai penakhlukan Belanda terhadap Raja-raja Swapraja. SULTAN HB IX menolak untuk melaksanakan tradisi Gandengan Tangan dalam penobatannya!





Sumber Dunia Dalam Berita

Komentar

Postingan Populer